Review Film : Kartini
Judul Film : Kartini (2017)
Sutradara : Hanung Bramantyo
Produser : Robert Ronny
Editor : Wawan I. Wibowo
Durasi : 119 menit
Penulis Naskah : – Hanung Bramantyo
– Bagus Bramanti
Pemeran : – Dian Sastrowardoyo
– Deddy Sutomo
– Christine Hakim
– Reza Rahadian
– Ayushita Nugraha
– Acha Septriasa
Mengapa review Film Kartini ?
21 April diperingati sebagai hari lahir ibu Kartini yang nama kecilnya adalah Trinil
Aku tertarik untuk mereview Film Kartini karena bertepatan dengan bulan April dan aku bersama sahabat pengelana ku lagi berusaha mengembangkan sayap untuk melangitkan karya kami.
Kami ibu rumah tangga yang berusaha berkarya dan berdampak melalui aksara yang kami torehkan menjadi buku "Kelana Maaf" tanpa melupakan kodrat dan peran sebagai istri dan ibu. Seperti halnya ibu Kartini yang juga tetap menjalankan perannya ditengah perjuangan mencerdaskan wanita di sekitarnya.
Jalan Cerita Film Kartini
Film dimulai dengan Trinil (Kartini - Dian Sastro Wardoyo ) yang lagi bergulat dengan pikirannya tentang pengangkatannya dengan gelar Raden Ajeng. Karena dengan diterimanya gelar tersebut artinya beliau harus menerima tanggung jawab dan belajar tatakrama sebagai seorang putri serta menjalankan tradisi pingitan sampai ada laki-laki yang akan meminangnya
Ibu Kartini yaitu Ngatirah (Christine Hakim), bukanlah seorang bangsawan jadi Kartini kecil sudah mulai melawan ketidakadilan itu saat kakaknya mengharuskan dia tidur di kamar bersama saudaranya dan tidak sekamar lagi dengan ibunya. Serta keharusan sang ibu untuk memanggil putrnya "Ndoro Ayu"
Ayahnya meskipun seorang Bupati (Deddy Soetomo) tapi tidak bisa berbuat banyak karena memang sudah adat dan tradisi turun temurun.
Gelar pun tersemat. Trinil bergelar Raden Ajeng Kartini. Beliau sedih dan tidak tahu harus melakukan apa. Sampai suatu hari kakaknya (Reza Rahadian) yang akan berangkat melanjutkan studinya ke Negeri Belanda menemui Kartini.
Kakaknya mengatakan "tubuh boleh terpenjara ataupun terpasung tapi jangan sampai jiwa dan pikiran ikut terpasung" sambil memberikan kunci untuk "melarikan diri" dari tradisi pingitan.
Kartini pun menerima kunci tersebut lalu masuk ke kamar kakaknya. Saat anak kunci masuk ke lubang pintu di depannya.. apa yang terjadi ?
Pintu tersebut ternyata sebuah lemari yang berisi buku-buku yang sangat menginspirasi yang ditulis oleh wanita.
Mata pikiran Kartini terbuka.. dibukanya salah satu buku yang menarik untuk dia kaji. Sebuah buku yang menjadi tonggak terbukanya mata hati Kartini bahwa seorang perempuan yang sudah berkeluarga pun bisa berkarya.
Setiap hal yang baru dan mendobrak tradisi pastilah mendapat tentangan dan larangan begitu juga dengan usaha Kartini.
Tentangan terutama dari kakak dan ibu tirinya yang masih memegang teguh adat dan tradisi turun temurun. Belum lagi orang tua dari perempuan di sekitanya yang tidak diijinkan untuk belajar dengan Kartini. Surat-surat Kartini pun seringnya tidak terkirim karena kurir yang di larang mengantarkan surat.
0 komentar