Menumpang

Airmata sudah mengering ketika Siska datang ke rumah ini untuk menemuiku. Seperti biasa gadis cantik dengan keanggunan khas gadis Solo itu membawakan serabi Notosuman kesukaanku. Jilbabnya yang panjang sampai lutut menambah kecantikan dan keanggunannya.
Tanpa basa basi dia langsung saja nyelonong masuk kamarku meskipun salam tetap dia ucapkan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Apa disini ada orang? Sepi banget nih kamar." 
"Waalaikumussalam. Ga ada orang. Dah sana pulang." Usirku sambil geserin badan karena Siska ikut tiduran di ranjangku.
"Habis nangis ya? Sore yang cerah begini kenapa membuat mendung di hatimu neng?' 
Pertanyaan Siska membuat airmataku kembali mengalir deras.
"Hei girl! Ada apa?" Tanyanya prihatin.
Meskipun aku tahu gadis cantik itu pasti bisa menebak mengapa airmataku mengalir sore ini.
Setelah puas menangis, kuteguk minuman yang disodorkan Siska. 
"Terimakasih ya."
"Iya. Kenapa? Sudah siap cerita belum?" tanya Siska.
"Kita makan serabi dulu ya. Lapar nih." Ujarku sambil memasukkan serabi yang masih hangat itu ke dalam mulutku.
Siska pun ikut mengambil serabi kemudian menggulung dan memasukkan ke dalam mulutnya. 
Kami makan dalam hening.
***
Kupejamkan mata mengingat kejadian hari ini tadi. Lalu mengalirlah cerita itu.
Siska hanya diam mendengarkan. Itulah yang Kusuka dari sahabatku ini. Dia tahu kapan saatnya bicara dan kapan saatnya hanya mendengarkan karena kadang manusia hanya butuh didengarkan. 
***
Aku tinggal di rumah tanteku sejak kuputuskan untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta yang terkenal di kota Budaya ini. Awalnya mau kontrak rumah atau kos saja disekitar kampus.
Kedatangan adik kandung ibu ke rumah nenek yang merubah rencanaku.  Bapak dan ibu awalnya setuju aku kos tetapi tante membujuk mereka supaya aku tinggal di rumahnya.
Nenek langsung setuju karena memang rumah tante dekat kampus jadi menghemat biaya juga.
Akhirnya bapak dan ibu pun setuju.
Sejak hari itu aku resmi tinggal di rumah tante. 
***
Awalnya memang menyenangkan tinggal di rumah ini. Semuanya berubah sejak setengah tahun yang lalu lebih tepatnya sejak ibu mertua tanteku ikut tinggal di rumah ini.
Jadi selain aku menjaga Alika, 
 sepupuku yang berumur tiga tahun sepulang kuliah, ku juga membantu tante merawat ibu mertuanya.
Perbedaan demi perbedaan semakin sering mencuat. Bahkan ibu mertua tanteku selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga bahkan urusanku pun tak luput dari incaran.
Benturan demi benturan karena watakku yang keras versus kerasnya hati neneknya Alika.
Seperti hari ini tadi. Setelah mengikuti salah satu mata kuliah by zoom meeting pagi, aku ke dapur untuk masak karena tante dan om serta Alika sedang ada acara. 
Bahan untuk dimasak sudah disiapkan tanteku jadi tinggal kumasak saja.
Saat masakan selesai kuhidangkan di meja makan dan menyiapkan sendiri di piring dan mangkuk kecil untuk ku antar ke kamar neneknya Alika. 
Saat ku taruh di meja dekat ranjang, neneknya Alika sudah melengos. Aku diam saja. Tidak mau terpancing. 
"Nasi keras dikasih nenek. Tantenu itu memang tidak bisa beli beras yang enak? Atau karena kamu tinggal di sini jadi menambah beban anakku. Beli beras tuh yang pulen jadi nasinya enak dan empuk." Nenek terus saja mengomel. 
"Ni juga sayur apaan. Nenek tidak selera. Belikan nenek ayam panggang di warung Padang samping kantor polisi." Nenek menyuruhku.
"Nek, kalau aku ke warung Padang lalu nenek di rumah sama siapa?" 
"Bilang saja kamu tidak mau. Dasar malas. Bisanya hanya numpang saja. Mana barangnya banyak lagi."
Ku diam lalu beranjak.
"Orang tua belum selesai ngomong sudah main pergi saja. Dengarkan orang tua ngomong,"
Aku masih bisa menahan diri kemudian masuk kamar untuk wudhu lalu menegakkan salat dhuha 8 rekaat.

Bersambung--




0 komentar