Mengapa?
"Pokoknya adik mau menginap rumah bude!" Rengek anakku untuk yang kesekian kalinya.
"Tapi nak," belum selesai aku bicara gawaiku berbunyi ramai sekali. Kuangkat benda mungil yang menjadi penghubungku dengan dunia luar.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh." Salamku begitu menjawab telepon.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, say apa kabar?" suara bernada bariton terdengar dari gawaiku.
Kubingung siapa sih ini orang main say, say emangnya aku bonsai, gerutuku. Di lain sisi anakku sudah menarik-narik gamis lusuhku yang sudah kehilangan warna aslinya.
Ingin kututup telepon itu akan tetapi ada rasa penasaran yang menggelitik sanubari.
"Maaf ya saya bukan bonsai." Kututup pembicaraan karena anakku sudah mulai merajuk lagi.
"Adik mau ke rumah bude?" Tanyaku.
"Iya."
"Insya Allah ya dik, tunggu bapak pulang bawa rizqi dari Allah untuk kita ya." Sahutku sambil tersenyum.
"Bu, adik sudah kangen bude."
"Iya dik. Jangankan adik, Ibu juga kangen dengan bude. Minta dimudahkan sama Allah ya."
Bocah 4 tahun itu menadahkan tangannya dan mulutnya komat-kamit seperti berdoa. Masya Allah nak.. maafkan ibu dan bapak.
Gawaiku berdering kembali. Kulihat tidak ada nama dan hanya nomer saja yang tertera di layar gawaiku.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Siapa ya ?"
"Waalaikumussalam.. kamu sudah lupa padaku?" Lagi-lagi suara itu.
"Maaf mungkin Anda salah sambung!" seruku sambil menutup telepon.
Kumencoba menggali memoriku tentang siapa orang itu. Memang sudah hampir satu Minggu orang yang entah siapa dia meneleponku dengan nada yang sama.
Kutidak menemukan meskipun sudah mencacah dan menggali memoriku.
Suamiku pulang sudah larut tidak seperti biasanya. Setelah bersih-bersih dan menunaikan salah isya, bapaknya anak-anak minta diambilkan makan.
Segera kusiapkan masakan yang sudah kuhangatkan di atas kompor. Setelah kupindahkan ke dalam mangkuk lalu kusajikan di hadapan suamiku.
Suamiku tersenyum kemudian menyantap masakan sederhana yang kumasak sore ini.
Selesai makan, kucuci semua piring dan gelas yang belum dicuci anak tertuaku.
"Bu, ada telepon!" Seru suamiku.
"Siapa Pak?" Seruku. Nanggung soalnya kalau ditinggal acara mencuci piringnya.
"Tidak tahu Bu, tidak ada namanya." Ternyata suamiku menyusul ke dapur dan menyerahkan gawaiku.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."
"Waalaikumussalam. Selamat tidur cantik."
Deg.
Kudiam mematung. Diakah yang telepon? Setelan sekian purnama tidak ada kabar berita.
Telepon ditutup sebelum kumenjawab.
Ya Allah.
Suamiku heran dengan sikapku.
"Ada apa Bu?" tanyanya lembut.
'Tidak ada apa-apa, Pak."
"Ya sudah. O iya adik masih merengek minta ke tempat budenya?"
"Iya Pak."
Sekarang giliran suamiku yang terdiam.
****
Pagi yang cerah..
Gawaiku berbunyi. Kulirik dan kumemilih tidak menjawabnya.
Nomer yang sama.
Tiga kali si pemilik nomer yang tertera di layar gawai itu kembali membuat pesawat komunikasiku itu bergetar.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."
Kupilih menjawab telepon itu dan hendak menjawab penasaranku benarkan dia yang selama seminggu ini menerorku.
"Waalaikumussalam say."
"Maaf jika tidak ada kepentingan jangan telepon lagi ke saya. Nomer anda akan saya blokir."
"Kamu masih saja suka marah ya say." Ujar suara di seberang sambil tertawa.
Huh. Aku mulai kesal.
"Kamu benar-benar melupakanku. Karena sudah menikahkah sehingga lupakan aku?"
Kudiam lalu kututup telepon.
0 komentar